Rabu, 12 September 2012 - 06:03
Ke Jepang Linda dan Sidik akan Berkeramik
oleh Kuss Indarto
Sidik Purnomo dan Linda Nur Mastuti mengapit Prof. Chitaru Kawasaki di studio keramik di SMK ROTA< Bayat, Klaten. (Foto: fajar Nugroho)
DUA anak muda ini, bisa jadi, akan punya peran penting bagi perkembangan dunia keramik di kawasan desa Pagerjurang, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Tampaknya pengharapan ini cukup berlebihan, namun tentu bukan tanpa alasan. Linda Nur Mastuti dan Sidik Purnomo, nama dua anak muda itu. Di akhir tahun ajaran lalu keduanya telah resmi lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan ROTA (Reach Out To Asia), Bayat, Klaten, sekaligus menjadi lulusan angkatan pertama dari sekolah yang pertama berdiri tahun 2009 lalu.

Linda menjadi lulusan terbaik, sementara Sidik masuk dalam peringkat 15 Besar di antara sekitar 120-an teman di kelas paralelnya. Seusai lulus, saat ini mereka tengah menyiapkan diri untuk bertolak ke Shigaraki, Jepang mulai awal Maret 2013 mendatang. Rencananya, selama setahun mereka akan menimba pengetahuan dan pengalaman tentang dunia keramik yang sejarah, teknik, dan teknologinya jauh lebih berkembang dibanding di Indonesia. Keberangkatan Linda dan Sidik merupakan bagian dari proyek Prof. Chitaru Kawasaki untuk mengembangkan lebih jauh keramik tradisional di Pagerjurang yang memiliki keunikan, yakni teknik putaran miring.

Prof. Chitaru Kawasaki (lahir 1938) sendiri adalah seorang seniman, peneliti, dan guru besar emeritus (di bidang seni keramik) pada Universitas Seika, Kyoto, Jepang. Dia pertama kali datang ke Indonesia, khususnya di desa keramik Pagerjurang sekitar tahun 1990-an, dan lalu berlanjut dengan proyek penelitian pada akhir 1990-an. Minat dan kepeduliannya pada desa keramik yang letaknya terpencil itu begitu besar sehingga mendorongnya untuk berkali-kali singgah ke Klaten. Bahkan, akhirnya, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, Prof. Kawasaki memutuskan untuk tinggal di situ.

Dia banyak memberikan masukan bagi para perajin keramik tradisional, mulai menyangkut ihwal disain, perbaikan teknik pembakaran, teknik memberi glasir pada keramik, hingga sedikit ke soal manajemen. Semuanya dilakukan dengan sebuah pengharapan: agar tradisi keramik di kawasan ini tidak punah. Apalagi, menurut Kawasaki, tradisi keramik dengan teknik miring termasuk langka, dan di Indonesia hanya ada di Klaten dan Bali.

Setelah sekian lama memberi pembelajaran dan masukan bagi warga Pagerjurang, Prof. Kawasaki sadar bahwa kebanyakan dari mereka yang banyak menghidupkan perkeramikan di situ adalah para orang tua. Dia waswas seandainya kelak generasi muda tak lagi berminat terlibat di dunia keramik, pasti tradisi yang sudah berabad-abad usianya itu akan terpotong, bahkan punah. Inilah yang menyadarkan Kawasaki untuk berinisiatif memikirkan hal yang jauh di depan bagi masa depan keramik di Klaten. Dia ingin mendirikan sebuah lembaga pendidikan formal yang khusus tentang keramik.

Singkat cerita, gagasan Kawasaki bisa terwujud meski penuh dengan liku-liku yang rumit dan melelahkan. Pascagempa Yogyakarta tahun 2006 yang berimbas cukup parah di Pagerjurang, situasi di sana seperti mulai dari nol. Dan untungnya banyak bantuan dari berbagai penjuru datang menuju titik Pagerjurang. Maka, gagasan awal Kawasaki untuk mendirikan sekolah kian dikerucutkan, kian gigih diperjuangkan. Hasilnya, ada kesepakatan dengan sebuah lembaga donor dari Qatar, ROTA (Reach Out To Asia) yang sanggup untuk mendanai merealisasikan gagasan tersebut secara penuh. Menurut beberapa sumber, kebutuhan dana Rp 5 milyar pun digelontorkan hingga akhirnya sejak tahun 2009 di Klaten berdiri SMK ROTA, Bayat!

BeasiswaLinda Nur Mastuti dan Sidik Purnomo bersama sekitar 120-an anak yang terbagi dalam 4 kelas merupakan anak-anak dari angkatan pertama sekolahan tersebut. Dua jurusan membagi ratusan anak-anak itu: keramik dan tekstil.

Linda sendiri masih ada kaitan dengan desa Pagerjurang karena kakek dan neneknya dari pihak ayah menetap di sana. Namun gadis kelahiran 8 Juli 1994 ini bersama orang tuanya menetap di Trimasan, Kali Tengah, Wedi, Klaten, sekitar 7 km ke arah barat dari Pagerjurang. Ayah Linda, Abi Suyanto (59 tahun) adalah seorang guru SMEA Muhammadiyah di kawasan Klaten, sementara ibunya sibuk dengan warung makan yang telah digelutinya bertahun-tahun.

Gadis ini, seusai lulus SMP dulu, mengakui mendengar akan berdiri sebuah SMK dari ayahnya. Dia berhasrat masuk karena cukup berminat di dunia seni, apalagi sekolah itu cukup dekat dari rumahnya, dan berstatus negeri lagi. Maka, pilihannya tunggal saat hendak meneruskan sekolah: masuk SMK ROTA. Suasana pembelajaran yang menarik tampaknya turut member sumbangan bagi minatnya untuk tekun belajar, hingga kemudian posisi ranking pertama selalu diraihnya mulai dari kelas satu hingga lulus. Sesekali dia juga mengikuti kompetisi bahasa Inggris di lingkungan kabupaten Klaten, dan mendapatkan prestasi dari sana.

Sementara Sidik Purnomo berjuang lebih jauh untuk bisa bersekolah di situ. Anak pasangan suami-istri Sagiman dan Sadiyem ini harus banyak merajuk pada orang tuanya untuk meneruskan sekolah setelah lulus SMP. Minatnya di bidang seni rupa yang telah terasa sejak awal sempat menggiringnya melirik ke SMK Prambanan. Dia berminat juga untuk studi di sana. Sempat main ke Prambanan untuk melihat suasana sekolah, namun dia hanya bisa pasrah kalau menilik kondisi ekonomi orang tuanya yang kurang memadai. Sidik mengakui bahwa orang tuanya bekerja serabutan, tak cukup punya dana berlebih untuk menyekolahkan anaknya. Untung salah satu kakak Sidik ikut menyelamatkan mimpi dan hasrat anak muda kelahiran 9 Juni 1994 ini. Dia sanggup untuk membantu pendanaan bagi Sidik.

Nyatanya, keinginan kuat Sidik untuk meneruskan studi tidak bermuara sia-sia. Pada semester awal pun tekad, ketekunan dan perjuangannya sudah berbuah dengan pemberian beasiswa. Malah, menurut pengakuan Sidik, dia mendapatkan beasiswa mulai kelas 1 hingga kelas 3. Uniknya, salah satu bentuk kompensasi dari capaian studinya itu tidak dikonversikan dalam bentuk uang, namun dalam wujud pembebasan seluruh biaya administrasi sekolah, ditambah jatah uang makan sebanyak Rp 5.000,- perhari. Indonesia Art News saat berbincang dengan Sidik di kantin sekolah, 11 September 2012 siang, sempat menatap daftar menu makanan yang antara lain harga semangkok soto Rp 2.000,- (dua ribu rupiah). Uang Rp 5.000 cukuplah untuk makan 2 mangkok soto dan satu gelas es teh.

Harapan PagerjurangDua anak muda ini, Linda dan Sidik, saat ini sibuk dengan persiapan keberangkatan mereka ke Jepang tahun depan. Maka, studi formal lanjutan pun tidak bisa diikutinya sementara ini. Mereka ngebut belajar bahasa Jepang bersama Topan, alumnus Jurusan Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, yang selama ini banyak mendampingi Prof. Kawasaki sebagai penerjemah. Seminggu 3 kali, adalah jadwal rutin mereka untuk belajar bahasa Jepang. Di luar itu, sudah barang pasti, Linda dan Sidik tetap tekun belajar keramik. Di rumah mereka sudah ada alat bantu untuk membuat keramik yang dibelinya. Saat ini, keduanya malah terlibat dalam satu pekerjaan untuk membuat souvenir pernikahan yang terbuat dari keramik.

Sidik menyebut kisaran besaran nilai order yang diterimanya itu. "Ya, lumayan. Tapi memang belum sebesar yang pernah diterimanya beberapa bulan sebelumnya yang mencapai angka Rp 1,7 juta," tuturnya bangga.

Anak-anak ini tetaplah anak-anak desa yang bersahaja, yang mungkin belum banyak terecoki oleh banyak problem ala anak kota yang penuh kompleksitas. Linda masih harus naik angkutan pedesaan untuk mencapai sekolahannya dari rumah. Sementara Sidik, sama dengan Linda, sudah mulai agak longgar dari keketatan jadwal sekolah yang menyita waktunya. Untuk mencapai sekolah dari rumah orang tuanya di Bayamrejo, Kalikebo, Trucuk, Klaten, anak yang berkulit cukup gelap ini harus berkeringat, terutama saat kelas 1. Jam 6 pagi dia harus sudah siap di atas sepeda onthel-nya yang digenjotnya hingga berkilo-kilometer untuk mencapai SMK ROTA. Beruntung saat mulai kelas 2 dia punya tetangga yang memiliki sepeda motor, dan menjadi adik kelasnya. Lumayan, Sidik punya tumpangan tetap dan gratis.

Ya, sosok Linda dan Sidik merupakan proyek pertama dari Prof. Kawasaki untuk memberangkatkan anak-anak muda lulusan SMK ROTA menuju Jepang demi belajar selama setahun. Kalau lancar, sponsor tak ada halangan, jejaring kerja tetap terbentuk, dan sebagainya, proyek tersebut akan berlangsung tiap tahun. Maka, memang, sosok Linda dan Sidik betul-betul diharapkan bisa kembali pulang kelak dengan membawa bekal sistem pengetahuan yang baru, teknik yang matang, dan hasrat yang lebih kuat untuk memajukan dan mengembangkan dunia keramik di tlatah Klaten, khususnya Pagerjurang.

Apapun hasilnya nanti, mau tak mau, publik seni rupa dan dunia pendidikan di Indonesia perlu angkat topi yang setinggi-tingginya bagi Prof. Citaru Kawasaki atas itikadnya yang cerdas dan dengan tujuan yang mulia ini. Dia tak sekadar meneliti, mampir tinggal sementara di Klaten, namun memiliki mimpi besar hingga merealisasikan sebuah sekolah yang bisa menjaga keberlangsungan tradisi keramik di kawasan itu. Prof. Chitaru Kawasaki jauh dari gemerlap jagad seni rupa (Indonesia) yang penuh gemerincing rupiah dan award. Namun kontribusinya pantas untuk dilirik dan diapresiasi. Selamat, Linda, selamat Sidik. Arigato gozaimazu, terima kasih, Profesor Kawasaki! ***

Ads Inside Post